Sore itu di sela-sela ramai kota aku terduduk di sudut ruangan sebuah warung kopi. Mataku kosong, otakku melompong. Hatiku, bolong.
Meja-meja kayu, grinder kopi, toples-toples yang berisi biji-biji kopi tersusun rapi di rak seperti mengerti keadaan ini, menjembatani sel-sel otak dengan seluruh jiwa ragaku. Seisi ruangan ini memberiku tempat mengasingkan diri. Memberiku wadah introspeksi, mengistirahatkanku dari letih ini.
Aku diam, memandangi layar ponselku yang retak seribu. Jemari yang berusaha menyentuh LCD dengan presisi, hati-hati. Aku seperti menembus dimensi baru yang asing. Ragaku terduduk ditemani aroma kopi, sebuah buku, kacamataku, dan ponsel tua yang sudah tiga tahun menjadi teman terbaikku. Tetapi otakku jauh dari situ. Menerawang lembah-lembah masa lalu, mengaitkannya dengan hari ini, dan mencoba menerka masa nanti.
"Mengapa aku begini?."
"Sekarang, kenapa aku bisa disini?"
"Kenapa jadi aku yang sekarang?"
"Lalu, akan jadi apa aku di masa datang?"
"Sekarang aku harus apa?"
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti virus yang menginfeksi otakku. Memaksa amygdala bekerja yang sepersekian detik kemudian diteruskan ke bagian hippocampus. Mengaitkan kejadian-kejadian masa lalu, waktu sekarang dan berhipotesa tentang masa depan, kemudian kembali ke masa sekarang, mengaitkannya lagi dengan masa lalu. Terus begitu, berulang-ulang. Aku sendirian disini, tapi merasa ditemani. Ditemani diri sendiri.
"Mungkin ini yang dibilang Meraga Sukma", batinku. Ragaku disini, tetapi jiwaku menerawang waktu. Aku disini, memperkosa ingatan-ingatan tempo dulu. Melihat diriku, melesat ke masa lalu, memilah-milah rekaman di otakku. Aku merasa menemukan segalanya. Aku sutradaranya, aku aktornya, dan aku juga penontonnya. Dengan waktu, sebagai sekat-sekat pembatasnya.
Bicara soal waktu, aku kembali menjembataninya dengan berkas-berkas yang ada di memori otak ku. Aku kembali teringat dengan pertanyaan sederhana.
"Mengapa aku berada disini?"
Aku segera ingat tujuanku, memanja mata, menyesakki otak yang melompong, dan menyumpal hati yang bolong, walaupun hanya sejenak, lalu bolong lagi. Semua itu kudapatkan di tempat ini, sepi yang meramaikan otak, memanja mata, dan mengisi hati. Sebentar saja, hilang lagi?, tak apa.
"Mungkin ini yang dibilang Meraga Sukma", batinku. Ragaku disini, tetapi jiwaku menerawang waktu. Aku disini, memperkosa ingatan-ingatan tempo dulu. Melihat diriku, melesat ke masa lalu, memilah-milah rekaman di otakku. Aku merasa menemukan segalanya. Aku sutradaranya, aku aktornya, dan aku juga penontonnya. Dengan waktu, sebagai sekat-sekat pembatasnya.
Bicara soal waktu, aku kembali menjembataninya dengan berkas-berkas yang ada di memori otak ku. Aku kembali teringat dengan pertanyaan sederhana.
"Mengapa aku berada disini?"
Aku segera ingat tujuanku, memanja mata, menyesakki otak yang melompong, dan menyumpal hati yang bolong, walaupun hanya sejenak, lalu bolong lagi. Semua itu kudapatkan di tempat ini, sepi yang meramaikan otak, memanja mata, dan mengisi hati. Sebentar saja, hilang lagi?, tak apa.
Kita adalah saat ini, karena dulu adalah lalu, dan besok adalah nanti. Hilang?, pasti.